Laman

Minggu, 13 November 2011

sosialisasi politik


PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK

1. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah cara-cara belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan masyarakat.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a.Tingkat Komunitas, Sosialisasi dipahami sebagai proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan politik mereka.Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan
2. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff)
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain. Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa, imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya. Sosialisasi politik yang selanjutnya akan mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat politik
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk sikap-sikap politik terentu.
Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan secara sadar dan secara tidak sadar.
2) Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3) Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi. Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.
3. SARANA SOSIALISASI POLITIK
1. Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya. Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di sekolah menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru sekolah sebagai figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya. Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam sosialisasi politik yaitu:
a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok pertemanan terhadap anggota mereka.
b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting dari informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok pertemanan berfungsi sebagai “communication channels”.
b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi politik sangat penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi politik yang lebih khusus tentang dunia politik.
c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau menekan mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang diterima oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu untuk menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang menyimpang.


4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas.
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah, televise dan internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.












 PERANAN PARTAI POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK

A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Raymond Garfield Gettel memberi batasan bahwa:
“Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka”
B. MACAM – MACAM PARTAI POLITIK
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa,
dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau pendukung yang banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya. Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok ini akan mendirikan partai sendiri;
2. Partai Kader,
kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan dipecat keanggotaannya.(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November 2005, Depok. Halaman 567-568)
C. TUJUAN PARTAI POLITIK
Tujuan umum Partai Politik adalah :
a. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
D. FUNGSI PARTAI POLITIK
Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann (1981), ada 4 (empat) yaitu :
1. fungsi agregasi.
Partai menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum masyarakat yang kacau. Sering kali masyarakat merasakan dampak negatif suatu kebijakan pemerintah, misalnya kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu yang demikian tinggi. Namun ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan berbagai ekspresi yang tidak jelas dan bersifat sporadis. Maka partai mengagregasikan berbagai reaksi dan pendapat masyarakat itu menjadi suatu kehendak umum yang terfokus dan terumuskan dengan baik.
2. fungsi edukasi.
Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan mempunyai kesadaran politik berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan masyarakat dalam politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan masyarakat. Cara yang ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi menyangkut kebijakan negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai agar masyarakat turut terlibat perjuangan politik partai.
3. fungsi artikulasi.
Partai merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan) berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan suatu kebijakan umum (public policy). Fungsi ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kader suatu partai, karena fungsi ini mengharuskan partai terjun ke masyarakat dalam segala tingkatan dan lapisan. Bila fungsi ini dilakukan ditambah dengan fungsi edukasi, ia akan menjadi komunikasi dan sosialisasi politik yang sangat efektif dari partai yang selanjutnya akan menjadi lem perekat antara partai dan massa.
4. fungsi rekrutmen.
Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik rekrutmen politik dalam arti mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang menjalankan peran legislasi dan koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, maupun rekrutmen partai dalam arti menarik individu masyarakat untuk menjadi kader baru ke dalam partai. Rekrutmen politik dilakukan dengan jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala tahapannya hingga proses pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering disebut juga fungsi representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut:
(a) Representatif (perwakilan),
(b) Konvensi dan Agregasi,
(c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi),
(d) Persuasi,
(e) Represi,
 (f) Rekrutmen
, (g) Pemilihan pemimpin,
 (h) Pertimbangan-pertimbangan,
(i) Perumusan kebijakan, serta
(j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988).
1. JENIS – JENIS PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tak punya keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah untuk merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern dan produktif. Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di Negara otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat di bina melalui organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan buruh, serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali.
3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara berkembang adalah negara – Negara baru yang ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat dapat menolong penanganan masalah – masalah yang timbul dari perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Pembentukan identitas nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber
kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting,1993:13).
4. Faktor Nilai Budaya
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.