PENTINGNYA SOSIALISASI POLITIK DALAM
PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. PENGERTIAN SOSIALISASI POLITIK
Sosialisasi politik adalah cara-cara
belajar seseorang terhadap pola-pola sosial yang berkaitan dengan posisi-posisi
kemasyarakatan seperti yang diketengahkan melalui bermacam-macam badan
masyarakat.
Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap
sejak dari awal masa kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam
usia dewasa. Sosialisasi beroperasi pada 2 tingkat:
a.Tingkat Komunitas, Sosialisasi dipahami sebagai
proses pewarisan kebudayaan, yaitu suatu sarana bagi suatu generasi untuk
mewariskan nilai-nilai, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik kepada
generasi berikutnya.
b.Tingkat Individual Proses sosialisasi politik dapat
dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk pandangan-pandangan
politik mereka.Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek sosilaisasi
yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga
proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak,
ia merupakan suatu proses tertutupnya pilihan-pilihan perilaku, artinya
sejumlah kemungkinan terbuka yang sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi
semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di lain pihak, proses sosialisasi
bukan hanya merupakan proses penekanan
2. METODE SOSIALISASI POLITIK ( oleh Rush dan Althoff)
1. Imitasi
Peniruan terhadap tingkah laku individu-individu lain.
Imitasi penting dalam sosialisasi masa kanak-kanak. Pada remaja dan dewasa,
imitasi lebih banyakbercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga satu
derajat peniruannya terdapat pula pada instruksi mupun motivasi.
2. Instruksi
Peristiwa penjelasan diri seseornag dengan sengaja
dapat ditempatkan dalam suatu situasi yang intruktif sifatnya.
3. Motivasi
Sebagaimana dijelaskan Le Vine merupakan tingkah laku
yang tepat yang cocok yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial
and error).
Jika imitasi dan instruksi merupakan
tipe khusus dari pengalaman, sementara motivasi lebih banyak diidentifikasikan
dengan pengalaman pada umumnya. Sosialisasi politik yang selanjutnya akan
mempengaruhi pembentukan jati diri politik pada seseorang dapat terjadi melalui
cara langsung dan tidak langsung. Proses tidak langsung meliputi berbagai
bentuk proses sosialisasi yang pada dasarnya tidak bersifat politik tetapi
dikemudian hari berpengatuh terhadap pembentukan jati diri atau kepribadian
politik. Sosialisasi politik lnagsung menunjuk pada proses-proses pengoperan
atau pembnetukan orientasi-orientasi yang di dalam bentuk dan isinya bersifat
politik
Proses sosialisasi politik tidak langsung meliputi
metode belajar berikut:
1. Pengoperasian Interpersonal
Mengasumsikan bahwa anak mengalami proses sosialisasi
politik secara eksplisitdalam keadaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam
hubungna-hubungan dan pemuasan-pemuasan interpersonal.
2. Magang
Metode belajat magang ini terjadi katrna perilau dan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dalam situasi-situasi non politik
memberikan keahlian-keahlian dan nilai-nilai yang pada saatnya dipergunakan
secara khusus di dalam konteks yang lebih bersifat politik.
3. Generalisasi
Terjadi karena nilai-nilai social diperlakukan bagi
bjek-objek politik yang lebih spesifik dan dengan demikian membentuk
sikap-sikap politik terentu.
Proses sosialisasi langsung terjadi melalui:
1) Imitasi
Merupakan mode sosiaisasi yang paling ekstensif dan
banyak dialami anak sepanjang perjalanan hidup mereka. Imitasi dapat dilakukan
secara sadar dan secara tidak sadar.
2) Sosialisasi Politik Antisipatoris
Dilakukan untuk mengantisipasi peranan-peranan politik
yang diinginkan atau akan diemban oleh actor. Orang yang berharap suatu ketika
menjalani pekerjaan-pekerjaan professional atau posisi social yang tinggi biasanya
sejak dini sudah mulai mengoper nilai-nilai dan pola-pola perilaku yang
berkaitan dengan peranan-peranan tersebut.
3) Pendidikan Politik
Inisiatif mengoper orientasi-orientasi politik
dilakukan oleh “socialiers” daripada oleh individu yang disosialisasi.
Pendidikan politik dapat dilakukan di keluarga, sekolah, lembaga-lembaga
politik atau pemerintah dan berbagai kelompok dan organisasi yang tidak
terhitung jumlahnya. Pendidikan politik sangat penting bagi kelestarian suatu
system politik. Di satu pihak, warga Negara memerukan informasi minimaltentang
hak-hak dan kewajiban yang mereka mliki untuk dapat memasuki arena kehidupan
politik. Di lain pihak, warga Negara juga harus memperoleh pengetahuan mengenai
seberapa jauh hak-hak mereka telah dipenuhi oleh pemerintah dan jika hal ini
terjadi, stabilitas politik pemerintahan dapat terpelihara.
4) Pengalaman Politik
Kebanyakan dari apa yang oleh seseorang diketahui dan
diyakini sebagai politik pada kenyataannya berasal dari pengamatan-pengamatan
dan pengalamn-pengalamannya didalam proses politik.
3. SARANA SOSIALISASI POLITIK
1. Keluarga
Merupakan agen sosialisasi pertama yang dialami
seseorang. Keluarga memiliki pengaruh besar terhadap anggota-anggotanya.
Pengaruh yang paling jelas adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang
kekuasaan. Bagi anak, keputusan bersama yang dibuat di keluarga bersifat
otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mendatangkan hukuman.
Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan
perasaan kompetensi politik si anak, memberikannya kecakapan-kecakapan untuk
melakukan interaksi politik dan membuatnya lebih mungkin berpartisipasi secara
aktif dalam sistem politik sesudah dewasa.
2. Sekolah
Sekolah memainkan peran sebagai agen sosialisasi
politik melalui kurikulum pengajaran formal, beraneka ragam kegiatan ritual
sekolah dan kegiatan-kegiatan guru.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
Sekolah melalui kurikulumnya memberikan pandangan-pandangan yang kongkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Ia juga dapat memegang peran penting dalam pembentukan sikap terhadap aturan permainan politik yang tak tertulis. Sekolah pun dapat mempertebal kesetiaan terhadap system politik dan memberikan symbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif terhadap system tersebut.
Peranan sekolah dalam mewariskan nilai-nilai politik tidak hanya terjadi melalui kurikulum sekolah. Sosialisasi juga dilakukan sekolah melalui berbagai upacara yang diselenggarakan di kelas maupun di luar kelas dan berbagai kegiatan ekstra yang diselenggarakan oleh OSIS.
3. Kelompok Pertemanan (Pergaulan)
Kelompok pertemanan mulai mengambil penting dalam
proses sosialisasi politik selama masa remaja dan berlangsung terus sepanjang
usia dewasa. Takott Parson menyatakan kelompok pertemanan tumbuh menjadi agen
sosialisasi politik yang sangat penting pada masa anak-anak berada di sekolah
menengah atas. Selama periode ini, orang tua dan guru-guru sekolah sebagai
figur otoritas pemberi transmitter proses belajar sosial, kehilangan pengaruhnya.
Sebaliknya peranan kelompok-kelompok klik, gang-gang remaja dan
kelompok-kelompok remaja yang lain menjadi semakin penting. Pengaruh
sosialisasi yang penting dari kelompok pertemanan bersumber di dalam
factor-faktor yang membuat peranan keluarga menjadi sangat penting dalam
sosialisasi politik yaitu:
a. Akses yang sangat ekstensif dari kelompok-kelompok
pertemanan terhadap anggota mereka.
b. Hubungan-hubungan pribadi yang secara emosional
berkembang di dalamnya.
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
Kelompok pertemanan mempengaruhi pembentukan orientasi politik individu melalui beberapa cara yaitu:
a. Kelompok pertemanan adalah sumber sangat penting
dari informasi dan sikap-sikpa tentang dunia social dan politik. Kelompok
pertemanan berfungsi sebagai “communication channels”.
b. Kelompok pertemanan merupakn agen sosialisasi
politik sangat penting karena ia melengkapi anggota-anggotanya dengan konsepsi
politik yang lebih khusus tentang dunia politik.
c. Mensosialisasi individu dengan memotivasi atau
menekan mereka untuk menyesuaikan diri dengan sikap-sikap dan perilaku yang
diterima oleh kelompok. Di satu pihak, kelompok pertemanan menekan individu
untuk menerima orientasi-orientasi dan perilaku tertentu dengna cara mengancam
memberikan hukuman kepada mereka yang melakukan penyimpangan terhadap norma-norma
keluarga, seperti melecehkan atau tidak menaruh perhatian kepad amereka yang
menyimpang.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi formal maupun non formal yang
dibentuk berdasarkan lingkungan pekerjaan, seperti serikat buruh, klub social
dan yang sejenisnya merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang
jelas.
5. Media Massa
Media massa seperti surat kabar, radio, majalah,
televise dan internet memegang peran penting dalam menularkan sikap-sikap dan
nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa baru merdeka. Selain memberikan
infoprmasi tentang informasi-informasi politik, media massa juga menyampaika
nilai-nili utama yang dianut oleh masyarakatnya.
6. Kontak-kontak Politik Langsung
Tidak peduli betapa positifnya pandangan terhadap
system poltik yang telah ditanamkan oleh eluarga atau sekolah, tetapi bila
seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa
ditolong, mengalami etidakadilan, atau teraniaya oleh militer, maka pandangan
terhadap dunia politik sangat mungkin berubah.
PERANAN PARTAI
POLITIK DALAM SOSIALISASI BUDAYA POLITIK
A. PENGERTIAN PARTAI POLITIK
Raymond Garfield Gettel memberi batasan bahwa:
“Partai politik terdiri dan sekelompok warga negara
yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik
dan yang dengan memakai kekuasaan memilih bertujuan mengawasi pemerintahan dan
melaksanakan kebijakan umum mereka”
B. MACAM – MACAM PARTAI POLITIK
Menurut Haryanto, parpol dari segi komposisi dan
fungsi keanggotaannya secara umum dapat dibagi mejadi dua kategori, yaitu:
1. Partai Massa,
dengan ciri utamanya adalah jumlah anggota atau
pendukung yang banyak. Meskipun demikian, parta jenis ini memiliki program
walaupun program tersebut agak kabur dan terlampau umum. Partai jenis ini
cenderung menjadi lemah apabila golongan atau kelompok yang tergabung dalam
partai tersebut mempunyai keinginan untuk melaksanakan kepentingan kelompoknya.
Selanjutnya, jika kepentingan kelompok tersebut tidak terakomodasi, kelompok
ini akan mendirikan partai sendiri;
2. Partai Kader,
kebalikan dari partai massa, partai kader mengandalkan
kader-kadernya untuk loyal. Pendukung partai ini tidak sebanyak partai massa
karena memang tidak mementingkan jumlah, partai kader lebih mementingkan
disiplin anggotanya dan ketaatan dalam berorganisasi. Doktrin dan ideologi
partai harus tetap terjamin kemurniannya. Bagi anggota yang menyeleweng, akan
dipecat keanggotaannya.(Haryanto: dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito,
Efriza, dan Kemal Fasyah; Mengenal Teori-Teori Politik. Cetakan I November
2005, Depok. Halaman 567-568)
C. TUJUAN PARTAI POLITIK
Tujuan umum Partai Politik adalah :
a. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
c. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan
cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
D. FUNGSI PARTAI POLITIK
Adapun fungsi partai politik, menurut Sigmund Neumann
(1981), ada 4 (empat) yaitu :
1. fungsi agregasi.
Partai menggabungkan dan mengarahkan kehendak umum
masyarakat yang kacau. Sering kali masyarakat merasakan dampak negatif suatu
kebijakan pemerintah, misalnya kenaikan BBM di Indonesia 1 Oktober 2005 lalu
yang demikian tinggi. Namun ketidakpuasan mereka kadang diungkapkan dengan
berbagai ekspresi yang tidak jelas dan bersifat sporadis. Maka partai
mengagregasikan berbagai reaksi dan pendapat masyarakat itu menjadi suatu
kehendak umum yang terfokus dan terumuskan dengan baik.
2. fungsi edukasi.
Partai mendidik masyarakat agar memahami politik dan
mempunyai kesadaran politik berdasarkan ideologi partai. Tujuannya adalah mengikutsertakan
masyarakat dalam politik sedemikian sehingga partai mendapat dukungan
masyarakat. Cara yang ditempuh misalnya dengan memberi penerangan atau agitasi
menyangkut kebijakan negara serta menjelaskan arah mana yang diinginkan partai
agar masyarakat turut terlibat perjuangan politik partai.
3. fungsi artikulasi.
Partai merumuskan dan menyuarakan (mengartikulasikan)
berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu usulan kebijakan yang disampaikan
kepada pemerintah agar dijadikan suatu kebijakan umum (public policy). Fungsi
ini sangat dipengaruhi oleh jumlah kader suatu partai, karena fungsi ini
mengharuskan partai terjun ke masyarakat dalam segala tingkatan dan lapisan.
Bila fungsi ini dilakukan ditambah dengan fungsi edukasi, ia akan menjadi
komunikasi dan sosialisasi politik yang sangat efektif dari partai yang
selanjutnya akan menjadi lem perekat antara partai dan massa.
4. fungsi rekrutmen.
Ini berarti partai melakukan upaya rekrutmen, baik
rekrutmen politik dalam arti mendudukan kader partai ke dalam parlemen yang
menjalankan peran legislasi dan koreksi maupun ke dalam lembaga-lembaga
pemerintahan, maupun rekrutmen partai dalam arti menarik individu masyarakat
untuk menjadi kader baru ke dalam partai. Rekrutmen politik dilakukan dengan
jalan mengikuti pemilihan umum dalam segala tahapannya hingga proses
pembentukan kekuasaan. Karenanya, fungsi ini sering disebut juga fungsi
representasi.
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut:
Sedangkan menurut Roy Macridis, fungsi-fungsi partai sebagai berikut:
(a) Representatif (perwakilan),
(b) Konvensi dan Agregasi,
(c) Integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi),
(d) Persuasi,
(e) Represi,
(f) Rekrutmen
, (g) Pemilihan pemimpin,
(h)
Pertimbangan-pertimbangan,
(i) Perumusan kebijakan, serta
(j) Kontrol terhadap pemerintah. (Macridis : dalam
buku karya Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1988).
1. JENIS – JENIS PARTISIPASI POLITIK
Partisipasi politik sangat terkait erat dengan
seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil
demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil,
tidak fluktuatif. Negara yang otoriter kerap memakai kekerasan untuk
memberangus setiap prakarsa dan partisipasi warganya. Karenanya, alih-alih
bentuk dan kuantitas partisipasi meningkat, yang terjadi warga tak punya
keleluasaan untuk otonom dari jari-jemari kekuasaan dan tak ada partisipasi
sama sekali dalam pemerintahan yang otoriter. Negara yang sedang meniti proses
transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi galib disibukkan dengan
frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi
yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang
bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara
biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk
partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi
politik terbagi menjadi dua: Pertama, partisipasi secara konvensional di mana
prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua
warga. Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu
partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan
partisipasi itu sendiri (PPIM, 2001).
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.
Partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan
aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan
karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari
protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun
ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
1. Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di
pelbagai kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas
melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu
dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan
diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain
menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan.
Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk
partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan
umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah
melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya ( voter
turnout ) disbanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
Di Amerika Serikat umumnya voter turnout lebih rendah dari Negara – Negara eropa barat. Orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk member suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan berbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan menggabungkan diri dengan organisasi organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi dan sebagainya.
2. Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di Negara otoriter seperti komunis, partisipasi masa
diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat.
Tetapi tujuan yang utama dari partisipasi massa dalam masa pendek adalah untuk
merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern dan produktif.
Hal ini memerlukan pengarahan yang ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase yang tinggi dalam pemilihan umum
dinilai dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu,
rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka
tinggi. Akan tetapi perlu diingat bahwa umumnya system pemilihan di Negara
otoriter berbeda dengan system pemilihan di Negara Demokrasi, terutama karena
hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon
tersebut harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan
oleh partai komunis.
Di luar pemilihan umum, partisipasi politik juga dapat
di bina melalui organisasi – organisasi yang mencakup golongan pemuda, golongan
buruh, serta organisasi – organisasi kebudayaan. Melalui pembinaan yang ketat
potensi masayarakat dapat dimanfaatkan secara terkontrol. Partisipasi yang
bersifat community action terutama di Uni soviet dan China sangat intensif dan
luas. Melebihi kegiatan Negara demokrasi di Barat. Tetapi ada unsur mobilisasi
partisipasi di dalamnya karena bentuk dan intensitas partisipasi ditentukan
oleh partai.
Di Negara – Negara otoriter yang sudah mapan seperti
China menghadapi dilema bagaimana memperluas partisipasi tanpa kehilangan
kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyarakat yang
diharapkan. Jika kontrol ini dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka
ada bahaya yang nantinya akan menimbulkan konflik yang akan mengganggu
stabilitas. Seperti yang dilakuakn oleh China di tahun 1956/1957. Pada saat itu
dicetuskannya gerakan “Kampanye Seratus Bunga” yaitu dimana masyarakat
diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Namun pengendoran kontrol ini tidak
berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap
mengganggu stabilitas nasional. Sesuda terjadi tragedy Tiananmen Square pada
tahun 1989, ketika itu ratusan mahasiswa kehilangan nyawanya dalam bentrokan
dengan aparat, dan akhirnya pemerintah memperketat kontrol kembali.
3. Partisipasi Politik di Negara Berkembang
Negara berkembang adalah negara – Negara baru yang
ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari Negara
maju. Hal ini dilakukan karena menurut mereka berhasil atau tidaknya
pembangunan itu tergantung dari partisipasi rakyat. Peran sertanya masyarakat
dapat menolong penanganan masalah – masalah yang timbul dari perbedaan etnis,
budaya, status sosial, ekonomi, agama dan sebagainya. Pembentukan identitas
nasional dan loyalitas diharapkan dapat menunjang pertumbuhannya melalui
partisipasi politik.
Di beberapa Negara berkembang partisipasi bersifat
otonom, artinya lahir dari diri mereka sendiri, masih terbatas. Oleh karena itu
jika hal ini terjadi di Negara- Negara maju sering kali dianggap sebagai tanda
adanya kepuasan terhadap pengelolaan kehidupan politik. Tetapi jika hal itu terjadi
di Negara berkembang, tidak selalu demikian halnya. Di beberapa Negara yang
rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi menghadapi masalah bagaimana caranya
meningkatkan partisipasi itu, sebab jika tidak partisipasi akan menghadapi
jalan buntu, dapat menyebabkan dua hal yaitu menimbulkan anomi atau justru
menimbulkan revolusi.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik
Masyarakat
1. Faktor Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan,
tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik
Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat
didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik
meliputi :
a. Komunikasi Politik.
Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang
mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang
mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8).
Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua
pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119)
.
b. Kesadaran Politik.
b. Kesadaran Politik.
Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan
perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14).
Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat
menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo,
1985:22).
c. Pengetahuan Masyarakat terhadap
Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat
terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu
keputusan yang akan diambil (RamlanSurbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik.
Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni
masyarakat menguasai
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik
individu sebagai sumber
kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan
pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya,
keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan
interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K.
Manullang dan Gitting,1993:13).
4. Faktor Nilai Budaya
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai
budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi,
hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27)
atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor nilai budaya
menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.